Hingga saat ini Kota
Bandung belum memiliki transportasi massal yang representatif. Padahal dalam
kurun waktu sepuluh tahun terakhir kemacetan di Kota Bandung semakin parah. Tak
hanya saat akhir pekan atau masa liburan, kemacetan pun terjadi setiap hari di
jam-jam masuk kerja dan sekolah serta jam-jam pulang kerja dan sekolah. Di
beberapa ruas jalan, kepadatan mulai terjadi pukul 05.30. Berdasarkan
pengalaman saya, jika dirata-ratakan, ruas jalan protokol di Kota Bandung
mengalami kepadatan dan kemacetan lalulintas sekitar pukul 06.00-09.30 dan
pukul 15.30-19.30.
Arus urbanisasi yang masif
pun menjadi salah satu faktor terjadinya kemacetan di Kota Bandung. Pembangunan
di Kota Bandung yang masif dan pesat membuat masyarakat dari daerah berbondong-bondong
untuk datang ke kota berjuluk ‘Paris van Java’ ini. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung,
hingga 2018 jumlah penduduk Kota Bandung mencapai 2,5 juta jiwa. Jika siang
hari bisa bertambah menjadi 3,5 juta jiwa. Hal tersebut karena warga dari kota
penyangga Kota Bandung beraktivitas di sini.
Apalagi beberapa waktu
lalu Asia Development Bank (ADB) melakukan survei dan menobatkan Kota Bandung
sebagai kota termacet di Asia. Kota Bandung
berada di peringkat 14, di atas Jakarta dan Surabaya yang masing-masing
menempati peringkat 17 dan 20. Sedangkan untuk di Indonesia, Kota Bandung menduduki
peringkat ke-1 kota termacet.
Dikutip dari beritagar.id, ADB melakukan
survei 278 kota dari 48 negara anggota ADB. Dalam laporan bertajuk "Asian
Development Outlook 2019--Update" yang diterbitkan September lalu, ADB
menempatkan Bandung pada urutan ke-14 dalam tabel kota berpenduduk di atas 5
juta jiwa (data 2016) dengan tingkat kemacetan tertinggi. Jakarta menempati
urutan ke-17, sementara Surabaya ke-20.
Menurut Survei Penduduk Antar-Sensus (Supas) 2015
Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk Kota Bandung diperkirakan mencapai 2,48
juta jiwa. Namun, yang dimaksud dalam laporan studi ADB itu adalah wilayah
Bandung Raya (greater Bandung area). Jadi, meliputi juga Kabupaten
Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Cimahi.
Data yang digunakan untuk menghitung rata-rata
durasi perjalanan berasal dari data Google Maps yang diakses pada 19 Maret
2019. Data itu mencakup pergerakan kendaraan pribadi dan transportasi publik
(terutama bus dan kereta).
Hasilnya, Bandung mencatatkan angka sedikit di
bawah 1,20. Artinya waktu yang dibutuhkan bagi kendaraan untuk bergerak dari
titik A ke B pada jam sibuk (peak hours) sekitar 20 persen lebih lama
dibandingkan pada jam lowong (off-peak hours). Jakarta mencatatkan
sekitar 1,17, sementara Surabaya 1,10. Angka tersebut masih lebih rendah dari
rata-rata tingkat kemacetan pada 278 kota yang diteliti, yaitu 1,24.
Hasil survei tersebut menimbulkan pro-kontra di
kalangan masyarakat. Tak terkecuali di lingkungan Pemerintah Kota Bandung.
Bahkan Dinas Perhubungan Kota Bandung mempertanyakan kriteria atau indikator yang
digunakan ADB dalam melakukan survei tersebut. Saya pun secara pribadi, masih
sedikit ragu dengan survei tersebut. Hal tersebut karena saya merasa kemacetan
di Kota Bandung belum separah Jakarta. Menurut saya pun kemacetan di Kota
Bandung bersifat sporadis dan tidak merata.
Sebenarnya ini bukan survei pertama yang
dilakukan lembaga terkemuka di dunia. Sebelumnya pada tahun 2018, lembaga riset
INRIX Global Traffic Scoreboard merilis
100 kota termacet dari 1.360 kota yang disurvei di dunia sepanjang 2017.
Hasilnya Kota Bandung berada dalam 100 kota tersebut.
Dalam survei tersebut,
rata-rata warga Kota Bandung menghabiskan waktu sekitar 42, 7 menit di jalan
raya. Sedangkan Jakarta, setiap warganya rata-rata menghabiskan waktu 55 menit.
Untuk survei tersebut, Jakarta saat itu
menempati posisi pertama dan Bandung posisi kedua sebagai kota termacet di
Indonesia.
Terlepas dari hal
tersebut, sudah sepatutnya hasil survei tersebut menjadi perhatian semua pihak.
Pasalnya jika tidak dilakukan penanggulangan maupun tindak lanjut, kemacetan di
Kota Bandung akan semakin parah. Bahkan tidak menutup kemungkinan lalulintas di
Kota Bandung akan lumpuh. Jika kita menelusuri lebih jauh, kemacetan di Kota
Bandung disebabkan beberapa hal.
Pertama, pertumbuhan
kendaraan baru setiap tahunnya sangat tinggi. Dikutip dari Harian Umum Pikiran
Rakyat 23 Februari 2019, setiap tahunnya jumlah kendaraan di Kota Bandung
meningkat 12% atau sekitar 180.000 unit. Artinya setiap hari bertambah sekitar
500-an unit kendaraa bermotor baru. Sedangkan pertambahan panjang jalan hanya
0,1%.
Hingga saat ini saja tak
kurang dari 2 juta unit kendaraan bermotor berlalu lalang di jalanan Kota
Bandung. Jumlah tersebut dari 1,5 juta unit kendaraan roda dua dan 500 ribuan
unit kendaraan roda empat. Angka tersebut belum termasuk dari kota satelit Kota
Bandung, seperti Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi.
Jika digabungkan jumlahnya dapat mencapai 3,5 juta unit.
Jika melihat data jumlah
kendaraan yang dikeluarkan BPS Jawa Barat, hingga 2018 total jumlah kendaraan
di Bandung Raya mencapai 3,89 juta unit. Terdiri dari 986 ribuan unit kendaraan
roda empat dan 2,90 juta unit kendaraan roda dua.
Sedangkan berdasarkan
Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jawa Barat potensi jumlah kendaraan di
Bandung Raya sebanyak 3,6 juta unit yang terdiri dari 676 ribuan unit kendaraan
roda empat dan 2,94 juta unit kendaraan roada dua. Walaupun terdapat selisih
jumlah dari dua data tersebut, hal tersebut sudah menunjukkan jumlah kendaraan
di Bandung Raya sudah sangat padat. Bahkan rata-rata kecepatan kendaraan
bermotor di Kota Bandung hanya 14,1 km/jam. Jelas hal tersebut mengganggu
mobilitas pengguna jalan.
Kedua, perilaku para
pengguna jalan yang masih kurang tertib berlalu lintas menjadi salah satu
penyebab kemacetan di Kota Bandung dan sekitarnya, baik itu pengemudi kendaraan
pribadi maupun pengemudi angkutan umum. Misalnya, pesepeda motor yang melawan
arus dan angkutan umum yang ngetem di sembarang tempat.
Ketiga, belum adanya
transportasi massal yang terintegrasi dan nyaman membuat warga masih enggan
menggunakan transportasi massal maupun angkutan umum. Meskipun di Kota Bandung
sudah dilayani sistem Bus Rapid Transit (BRT) Trans Metro Bandung TMB,
tapi belum cukup untuk menekan kemacetan.
Berbagai faktor menjadi
penghambat hal tersebut. Mulai dari masih kurangnya armada yang beroperasi
hingga belum tepat waktunya jadwal kedatangan TMB. Selain itu, kehadiran Damri
pun masih belum bisa berbuat banyak untuk menekan kemacetan di Bandung Raya.
Padahal potensi masyarakat terbilang cukup tinggi.
Untuk TMB sendiri
jumlahnya hanya 40 unit yang melayani 4 koridornya. Idealnya setiap koridor
memiliki 40 unit. Hal tersebut karena masih ada beberapa pertimbangan, salah
satunya gesekan dengan para supir angkot. Sedangkan Damri sendiri memiliki tak
lebih dari 200 unit bis yang melayani 11 trayek di kawasan Bandung Raya.
Kehadiran angkot pun
terkesan menjadi penyebab utama kemacetan di Kota Bandung. Bahkan di kalangan
masyarakat masih ada gengsi untuk menggunakan angkot. Tak jarang angkot
diidentikan dengan maaf ‘warga kelas menengah ke bawah’. Hal tersebut cukup
beralasan, di pelayanan angkot yang buruk, angkot yang sudah rusak hingga
penetapan tarif sepihak oleh beberapa pengemudi angkot. Sekadar informasi
jumlah angkot di Kota Bandung yaitu 5.520 unit yang melayani 38 trayek.
Bahkan beberapa kali
Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandung
mewacanakan re-routing angkot, angkot sebagai feeder (angkutan pengumpan) dan konversi angkot menjadi
bis. Entah apa yang menyebabkan wacana tersebut belum terlaksana. Padahal
menurut saya pribadi wacana tersebut cukup realistis untuk diwujudkan. Apalagi
dengan wacana angkot sebagai angkutan pengumpan atau feeder transportasi massal seperti Trans Metro
Bandung dan LRT.
Jika wacana tersebut
ingin diwujudkan, menurut saya pribadi, angkot harus dan hanya boleh beroperasi
di kawasan pemukiman dan di kawasan yang belum atau tidak dilalui angkutan
umum. Karena jika dilakukan seperti itu, ada kemungkinan warga lebih berpotensi
untuk menggunakan angkot. Namun perlu dilakukan kajian mendalam untuk
mewujudkan rencana tersebut oleh pihak terkait yang berkompeten. Seperti oleh
para akademi dan pakar transportasi hingga pakar tata kota.
Sebenarnya Kota Bandung
sendiri sudah beberapa kali mewacanakan pembangunan transportasi massal dan
berbagai infrastruktur. Mulai dari pengembangan jaringan koridor TMB,
pembangunan cable car, metro kapsul hingga light rail transit (lintas
rel terpadu) atau yang biasa disebut LRT yang bakal menghubungkan kawasan
Bandung Raya.
Namun, lagi-lagi
pembangunannya terkendala biaya. Untuk 1 km trase LRT saja dibutuhkan biaya
Rp.500 miliar hingga Rp.1 triliun. Pembangunan tersebut tidak bisa dengan hanya
mengandalkan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah ( APBD )yang cukup
kecil. Diperlukan bantuan dari pemerintah pusat atau bahkan pihak ketiga
seperti para investor.
Sedangkan untuk
pembangunan infrastruktur, Kota Bandung memiliki beberapa perencanaan. Di
antaranya ada tol dalam kota seperti Bandung Intra Urban Toll Road (BIUTR)
sepanjang 27 km dan North-South Link (NS Link) sekitar 14 km. Selain itu
adapula rencana pembangunan lintas bawah atau underpass di beberapa titik seperti di Gasibu dan Bunderan
Cibiru yang merupakan bagian dari BIUTR. Pembangunan jalan layang (fly over)
pun menjadi salah satu pembangunan infrastruktur yang tengah digenjot
Pemerintah Kota Bandung. Hingga tahun 2023, Kota Bandung ditargetkan memiliki 3-7
fly over baru.
Namun, pembangunan
infrastruktur seperti tol dalam kota dan jalan layang bukanlah solusi utama
dalam menekan tingkat kemacetan di Kota Bandung. Malah saya berani mengatakan
pembangunan tersebut bersifat instan dan bukan untuk jangka panjang. Untuk
menekan atau mengurangi kemacetan jangka panjang di Kota Bandung maupun Bandung
Raya, dibutuhkan transportasi massal yang terintegrasi dan terkoneksi dengan
sejumlah kawasan.
Hal tersebut sangatlah penting untuk menunjang mobilitas
masyarakat dalam aktivitas sehari-hari. Apalagi sebagai wilayah metropolitan,
masyarakatnya butuh kecepatan dan ketepatan waktu dalam perjalanannya.
Maka dari itu diperlukan
kerjasama dan koordinasi sejumlah pihak seperti masyarakat dan antar pemerintah
daerah di Bandung Raya. Untuk masyarakat sendiri, harus mengubah pola pikir atau
mindset bahwa penyelesaian kemacetan tidak sepenuhnya ada di tangan
pemerintah, melainkan masyarakatnya sendiri pun harus bisa terlibat.
Ada
beberapa hal yan dapat masyarakat lakukan untuk mengurangi kemacetan, seperti
menggunakan belajar menggunakan angkutan umum secara bertahap, berjalan kaki
jika jarak bepergian relatif (cukup) dekat dan bersepeda menuju sekolah atau
kantor.
Untuk pemerintah harus
dapat memberikan pelayanan dan menghadirkan transportasi massal yang nyaman.
Walaupun belum bisa terintegrasi, paling tidak representatif untuk wilayah
metropolitan. Pemeritah pun harus terus mengkampanyekan penggunaan angkutan
umum kepada masyarakat. Sosialisasi harus dilakukan secara masif dan rutin. Apalagi
di zaman digital seperti sekarang, media sosial menjadi sarana paling efektif
untuk menyosialisasikan ataupun mengkampanyekan suatu hal maupun kegiatan.
Terutama kepada kaum milenial dan anak muda yang akrab dengan gawai dan media
sosialnya.
Hal tersebut agar warga
terstimulus untuk menggunakan angkutan umum atau trasportasi massal dengan
dibarengi peningkatan kualitasnya. Dan yang terpenting adalah (bagaimana)
mengubah mindset masyarakat untuk menggunakan transportasi massal atau
transportasi alternatif agar tidak terlalu manja menggunakan kendaraan pribadi
untuk beraktivitas sehari-hari.
Karena untuk menciptakan
kota yang nyaman dan bebas macet dibutuhkan kerjasama dan kesadaran berbagai
pihak. Semua pihak harus bisa menjaga dan memelihara apa yang telah dibangun
secara bersama.
Referensi:
Harian Umum Pikiran
Rakyat
Beritagar.Id
Detik.com
Ayobandung.com
Kompas.com
Pikiran-rakyat.com
Kabarpenumpang.co.id
0 komentar:
Posting Komentar